Legenda dari Simamonen
Pada masa lalu, di suatu daerah di bagian timur simamonen yang dikenal dengan daerah Batu Ampar, hiduplah seorang laki-laki yang bergelimang harta yang melimpah. Namanya dikenang turun temurun oleh masyarakat simamonen dengan sebutan Si Jibun. Ia dikenal bukan hanya seorang yang kaya raya, namun ia juga dikenal karena memiliki kesaktian. Ia memiliki segala hal yang dapat membuat orang-orang segan kepadanya. Ia memiliki tanah yang luas, ayam beribu ekor, dan kerbau yang banyak. Bukan hanya itu, ia juga mempunyai perkebunan luas yang beragam jenis tanaman seperti pisang, kelapa, dan langsat yang tak pernah habis dipanen. Dan ia juga diketahui memiliki emas yang sangat banyak sehingga hitungannya bukan lagi gram tetapi ia menghitung emasnya dengan menggunakan ukuran sukat atau setara dengan 2 liter beras. Nila disebut nama Si Jibun maka yang terlintas di benak orang orang Simamonen adalah sesosok orang yang kaya raya dan sakti.
Tapi sebagaimana tanah yang luas bisa menyempit, harta yang banyak bisa berkurang, emas yang banyak bisa menghilang. Si Jibun dikenal juga dengan orang yang kurang pintar atau kurang berilmu pengetahuan. Si Jibun diketahui bukan orang yang cerdas dan rendah hati. Karena kekayaan dan kesaktian yang ia miliki menjadikan ia enggan belajar hal-hal lain. Dengan kekayaan dan kesaktiannya ia merasa tak ada lagi yang ia butuhkan. Ia memiliki kesombongan dan gengsi yang tinggi dalam dirinya.
Pada suatu hari di halaman rumah besar Si jibun, suanana yang cukup akrab. Beberapa tetangga bapak-bapak tengah duduk santai di bawah pohon rambutan rimbun bersama Si Jibun. Ada yang yang menghisap rokok linting, ada pula yang sesekali tertawa terbahak-bahak karena cerita lucu dari salah seorang di bangku tongkrongan milik mereka.
Si jibun tentunya tak alpa untuk ikut nimbrung di obrolan santai itu. Ia berbicara seperti biasa, menceritakan soal harga kerbaunya yang sangat mahal, soal tanah yang baru saja ia beli, soal emas yang kini semakin bertambah-tambah, ia juga menceritakan bahwa hanya ia lah salah satu orang yang terkaya di daerah itu. Tak hanya itu ia juga mengatakan “kalau bukan karna dia mungkin orang simamonen tidak akan dapat menggulai menggunakan kelapa” ujarnya dengan bangga. Beberapa tetangga mengangguk-angguk, sebagian karna hormat, sebagian karena sudah terbiasa mendengar kesombongannya.
Tiba-tiba dari kejauhan, tampak seorang lelaki tua berjalan menghampiri mereka. bajunya sederhana, wajahnya tirus dan sedikit kurus. Di pundaknya terdapat kayu yang yang terikat kain bulat berisikan suatu barang yang isi nya tidak diketahui, mungkin itu adalah bekal di perjalanan.
Ketika sampai di dekat bangku mereka berkumpul, ia mengucapkan salam: “assalamualaikum, apakah benar di sini rumahnya Si Jibun?”. Si jibun menoleh, ia mengernyitkan dahi, karena tidak mengenali sosok itu. Kemudian ia menjawab “walaikumsalam, iya itu adalah saya. Ada perlu apa anda menemui saya? Ketus Si Jibun.
Orang tua menjawab “namaku pak Ahmad, mungkin kau tidak kenal aku. Tapi aku mengenal ayahmu dulu. Waktu kampung ini masih sepi, waktu ayahmu dulu tinggal di rumah itu” pak Ahmad menunjuk salah satu rumah gubuk kecil beratap ijuk dan berdinding papan yang sebentar lagi tampak mau roboh. Si jibun mulai kehilangan senyumnya, beberapa tetangga pelan-pelan menoleh, menjadi lebih waspada. Suasana menjadi senyap.
Kemudian pak tua itu melanjutkan “sebenarnya maksud kedatanganku ke sini untuk meminta sedikit bantuanmu, karena dulu orang tua sempat meminjam sedikit emas kepadaku, ia meminjam emas dariku sebanyak Sakundi dan Sakundeo. Ia perlu untuk modal membeli kerbau dan membangun pondasi rumah ini. Oleh sebab itu karna aku lihat kamu telah berkecukupan saya bermaksud meminta emas saya itu untuk dikembalikan, karena saya sangat membutuhkan itu saat ini”.
Si jibun berdiri. Tatapannya penuh curiga dan gugup. Ia berkata “apa maksudmu menyebut itu kepada saya, kau tahu kamu berbicara kepada siapa? Jangan kau sembarangan menuduh saya punya hutang kepadamu, bilang saja kau mau mengemis tetapi pura-pura berdalih aku berhutang kepadamu.
Kakek itu menjawab “aku tak bermaksud mengemis kepadamu, tapi aku juga tahu bahwa ayahmu belum sempat melunasi sebelum ia wafat. Sekarang aku datang bukan mengemis kepadamu bahkan untuk menipu mu, akau datang hanya untuk menutup janji”.
Salah satu tetangga, Pak Dalin, yang duduk di antara mereka, tersedak kopinya. Yang lain mulai saling melirik. “jibun, maksud orang ini,,, utang zaman dulu? Bisik salah satu dari mereka.
Jibun memucat. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia tahu, meskipun tidak ada yang akan mengejeknya, tetapi semua orang telah tahu dan mendengarkan langsung kenyataan yang selama ini tidak sesuai dengan apa yang ia ceritakan.
Si jibun berkata “kau ingin mempermalukan saya ya?, asal kau tau, saya adalah orang terkaya di tanah sini, semua orang butuh bantuanku, dan aku tak pernah sedikitpun butuh bantuan orang” ucap si jibun dengan nada membentak.
Ia melanjutkan “kau menganggap aku tak sanggup membayarnya?, sekarang pergilah dari rumahku, emas hanya sakundi dan sakundeo tak ada apa-apanya bagiku”. Ketika bapak tua hendak pergi ia berkata, “jika kamu tak mau membayar hutang orang tuamu ini, lihatlah hartamu sangat berlimpah, bukankah juga banyak orang yang mengatakan bahwa kau orang hebat dan terhormat?”. Kemudian ia memberikan waktu kepada si Jibun untuk segera membayar hutangnya dalam jangka tiga hari ke depan. Kemudian meninggalkan si jibun.
Bagi orang biasa, hutang itu mungkin bisa dilunasi dalam sekejap. Tapi bagi Si Jibun, masalahnya bukan pada jumlah, melainkan pada ukuran. Ia tak tahu pasti seberapa banyak “sakundi” dan sakundeo” dalam ukuran nyata. Ukuran tersebut adalah cara tradisional masyarakat menghitung emas yang diwariskan turun temurun. Namun karna sudah menyombongkan diri terlebih dahulu dengan mengatakan “aku tidak butuh bantuan siapa pun”. Selain itu Si Jibun terlalu lama hidup dalam kemewahan dan merasa paling hebat, ego dan gengsi menjadikan ia enggan untuk bertanya kepada orang yang mengetahui. Pada akhirnya Si Jibun bingung sendiri.
Ia berjalan mondar mandir di rumahnya. Wajahnya berkerut, bibirnya menggerutu. Tapi bukan akalnya yang dicari, melainkan harga dirinya yang ia jaga mati-matian. Ia gengsi bertanya, dan malu meminta penjelasan. “apakah aku harus bertanya kepada orang biasa? Padahal aku dikenal orang yang sangat sakti dan kaya raya!”. Batinnya menolak dan tak menerima itu semua. Dan ketika logika mati oleh gengsi, maka amarah pun menyulut emosi.
Hari itu, di langit di atas Batu Ampar tampak mendung. Tapi mendung yang sesungguhnya datang dari hati si jibun. Karna tak terima, merasa telah direndahkan oleh warga biasa yang tak sekaya dan se sakti dirinya. Dengan wajah membara dan suara meledak-ledak, ia mengamuk sejadi-jadinya.
Ia melampiaskan amarahnya kepada semua barang-barang nya di dalam rumah sehingga berserakan dan banyak perhiasan yang pecah di lantai. Tak puas menghancurkan di dalam rumah, amarahnya masih bergejolak sampai keluar rumah. Sampai di lur ia meninju pohon pisang. Karena ia sakti pohon pisang seketika berubah menjadi pohon pisang hutan. Ia menghamburkan ayam kesayangannya yang berubah menjadi ayam hutan. Kemudian ia menendang pohon kepala yang berubah menjadi barubur, pohon langsat berubah menjadi barangan. Tak puas hanya sampai di situ, emosinya masih membara akhirnya ia pergi ke sekumpulan kerbau yang ia miliki. Dengan emosi yang masih membara ia langsung menampar kerbaunya, seketika semuanya berubah menjadi batu.
Hartanya yang dulu ia banggakan, satu demi satu menjadi kutukan. Konon, begitu semua berubah, angin kencang bertiup dari bukit. Daun dan ranting kayu berjatuhan ke tanah. Alam seperti menyaksikan kejatuhan orang yang terlalu meninggikan dirinya.
Setelah semuanya hancur karena tangannya sendiri, Si Jibun terdiam. Kakinya tak kuat berdiri di tanah Simamonen. Ia malu, tak bisa menerima kenyataan sepahit ini. Dimana dia adalah orang terhormat dan kaya raya dipermalukan begitu saja. Walaupun kenyataanya gengsi dan egonya saja yang mempermalukan dirinya sendiri. Akhirnya, tanpa pamit, ia pergi meninggalkan kampung, merantau jauh ke negeri seberang yaitu Malaysia.
Sejak saat itu, taka da lagi kabar tentang si jibun. Namanya hanya tinggal dalam cerita. Tapi jejaknya masih bisa dilihat sampai saat ini.
Batu kerbau dan langsat.
Jika engkau pergi ke Batu Ampar engkau kamu mungkin akan melihat keanehan di sana. Sekumpulan batu besar berdiri diam sperti kerbau berbaris di tengah padang rumput. Apabila batu ini dilihat dari jauh, ini seakan sekumpulan kerbau yang sedang makan rumput, namun apabila lebih dekat itu hanyalah sekumpulan batu hitam yang besar besar. Masyarakat sering mengatakan itu adalah kerbaunya si Jibun yang dikutuk menjadi batu oleh tuannya sendiri.
Ada pula pohon langsat yang tumbuh di sana, apabila di sana langsat ini akan sperti langsat biasanya namun apabila dimasukkan ke atas dan dibawa pulang, maka setelah sampai di rumah langsat ini berubah menjadi buah pohon barangan.
Kemudian ada juga pohon barubur yang sangat persis tampilannya dengan pohon kelapa ini juga dikatakan berasal dari pohon kelapa yang dikutuk oleh si Jibun. Kemudian pisang si Jibun juga berbuah menjadi pisang Hutan yang tidak bisa dimakan, karena isi dalam buah pisang berisi biji-biji kecil dan padat.
Semua itu adalah cocokologi yang menjadi mitos di masyarakat simamonen.
Pelajaran dari kesombongan
Legenda si jibun adalah warisan tutur yang masih bergaung di kalangan orang tua simamonen. Ia bukan sekedar cerita tentang pohon atau batu, tapi tentang harga diri yang dibangun atas angkuh dan malu bertanya.
Si jibun tak dikutuk oleh orang lain. Ia mengutuk dirinya sendiri. Karena kesombongan yang menutupi akal sehat. Karena merasa terlalu tinggi untuk belajar. Dan karena mengira kekayaan dan kesaktian cukup untuk bertahan selamanya.
Dari tanah yang sunyi itu, dari batu-batu yang diam, dan dari buah yang berubah rasa, legenda ini terus hidup mengajarkan kita bahwa bertanya kepada orang di bawah kita itu bukanlah suatu kehinaan. Ketahuilah bahwa bertumbuh itu dimulai dari rendah hati.
Komentar
Posting Komentar