Sejarah Simamonen chapter VI

Setelah menetap di dataran yang masih penuh hutan rimba, Badul Amin dan keluarga membuka lembaran pertama sejarah kehidupan manusia di Simamonen. Wilayah yang semula sunyi, kini mulai dihidupkan dengan aktivitas sehari-hari yang berpadu erat dengan alam. Dari sanalah lahir pondasi budaya dan tatanan sosial yang kelak membentuk identitas Simamonen.
Seiring waktu, mereka mulai mengolah lahan dengan alat seadanya dan hanya bermodal kerja keras, mereka membuka lahan pertanian. Padi ladang, singkong, dan pisang mulai ditanami oleh masyarakat untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari. Di samping itu mereka juga tak jarang melakukan perburuan atau berjerat Rusa dan Kijang untuk kebutuhan pangan dan gizi protein yang mereka butuhkan. Selain itu mereka juga sering menangkap ikan dengan alat perangkap yang mereka buat sendiri yang berbahan dasar bambu. Alat itu dikenal dengan nama “Luka”. Luka dirancang dengan teknik sederhana namun efektif. Ini memperlihatkan kearifan lokal dalam memanfaatkan bahan alam. Hasil buruan dan ikan menjadi sumber protein utama bagi mereka.
Perlahan-lahan mereka juga mulai menerapkan teknik bersawah di bagian lembah atau bantaran sungai. Selain bertani mereka juga mulai berternak kerbau, bukan hanya untuk daging dan tenaga, tai juga sebagai symbol status ekonomi dan sosial. Tak lama kemudian, mereka juga mulai menanam pohon karet, yang kelak menjadi tanaman penghasil utama di generasi selanjutnya di masa colonial dan pasca kemerdekaan. Ini menandai pergeseran dari pola hidup subsisten menuju kehidupan yang sedikit lebih mapan secara ekonomi.
Pada masa itu, mendapatkan kain bukan hal mudah. Jalur perdagangan belum terbuka luas dan mudah untuk di akses. Posisi simamonen ini cukup sulit untuk memiliki akses ke pasar. Pada masa itu untuk keperluan Garam dapur saja harus melintasi bukit menuju Koto Rajo untuk dapat membeli garam dapur. Karna sulit mendapatkan kain untuk pakaian sehari-hari, maka mereka pun memanfaatkan sumber daya yang tersedia di sekitar hutan. Salah satunya adalah kulit kayu pohon Tangki. Kulitnya diolah melalui proses perendaman dan pemukulan sampai halus dan lentur kemudian dikeringkan. Hingga bisa dikenakan untuk pakaian sehari-hari. Baju dari kulit kayu Tangki ini bukan hanya symbol keterbatasan, melainkan juga cerminan kemandirian dan kreativitas dan kreativitas tinggi masyarakat mas itu dalam menjawab kebutuhan hidup.
Siring waktu, komunitas kecil ini tidak hanya sibuk mencukupi kebutuhan harian. Mereka juga mulai menata kehidupan sosial. Mereka juga mulai menata kehidupan sosial. Salah satu tonggak penting adalah ketika Badul Amin secara Resmi diangkat sebagai datuk (pemimpin adat) di Simamonen oleh Datuk Koto Rajo.
Pegangan ini menandai bahwa keberadaan mereka diakui pusat adat yang lebih tua. Dengan gelar ini, Badul Amin tidak hanya memimpin keluarga besarnya, tetapi juga mulai mengatur norma hidup, hukum adat, dan menyatukan masyarakat yang mulai berkembang di bawah wilayah Simamonen.
Semua pembanguan awal, baik rumah, ladang, maupun jalur perjalanan kaki dibangun lewat gotong royong. Tidak ada upah, karena setiap orang membantu satu sama lain dalam semangat saling menjaga dan menghidupkan wilayah bersama. Meski terletak agak jauh dari pusat keramaian, hubungan dengan kampung tetangga mulai semakin meluas. Yang semula cukup sedikit sperti daerah Koto Rajo saja dan sekitarnya saja, tetapi ke daerah lain seperti Sisoma, Silayang, Gantiang, Kubu Baru dll. Mulai dibangun. Jalur lintas mulai dibuka perlahan. Komunikasi antar wilayah ini menjadi titik awal pertumbuhan perekonomian di bidang bisnis perdagangan. Pada tahap ini antar kampung mencoba menjalin hubungan perdagangan dalam bentuk tukar menukar hasil tani. Dari sini mulai terbentuk tatan kehidupan yang semakin berkembang.
Kehidupan awal simamonen adalah perpaduan antara kebutuhan antara keterbatasan, kreativitas, dan keteguhan hati. Dari membangun lading, membuat kerajinan, berburu dan berjerat, hingga mengolah kulit kayu menjadi pakaian. Pada akhirnya mulai memperluas hubungan sosial dan bisnis.
Pengangkatan Badul Amin sebagai datuk menandai lahirnya struktur adal lokal yang sah dan diakui, serta membuka jalan bagi babak-babak berikutnya dalam sejarah simamonen. Di sinilah cerita Simamonen mulai tumbuh, dan tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai komunitas yan punya jiwa, aturan, dan arah.
Penulis: A. Muhyi (dari cerita lisan Ompung Abu Nawas)
Komentar
Posting Komentar